Tuesday, September 15, 2009

Pentingnya Keterbukaan

Catatan tentang penciptaan manusia memberi kita sedikit celah untuk melihat keadaan pernikahan kedua manusia pertama itu. Firman Tuhan menjelaskan, “Mereka keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” (Kej.2:25).

‘Telanjang’ di sini tidak berarti bahwa mereka tidak tahu bagaimana cara membuat pakaian. Jika memang itu keadaannya, mereka pasti tidak akan dapat membuat pakaian setelah jatuh ke dalam dosa.

Jadi bukannya mereka tidak sanggup, tetapi mereka tidak perlu membuatnya! Di antara mereka tidak ada yang perlu ditutupi karena tidak ada yang dianggap tidak pantas diketahui oleh pasangannya. Hubungan nikah menjadi hubungan yang realistik, bukan hubungan semu yang dilandasi upaya pemenuhan kebutuhan belaka.

Begitulah seharusnya hubungan di antara suami-istri: keterbukaan penuh. Saya kira keterbukaan penuh berkaitan erat dengan kepercayaan satu sama lain. Jika kepercayaan tidak maksimal, mustahil kita dapat terbuka sepenuhnya kepada pasangan kita. Tatkala kepercayaan goyah, kita pun merasa terancam dan akan merasa perlu untuk melindungi diri dari ancaman itu. Sewaktu kita melindungi diri, kita juga menutupi diri. Akibatnya adalah, hubungan nikah kita berhenti bertumbuh sebab masing-masing kita sibuk “membuat dan mengenakan pakaian.”

Komitmen dan Keterbukaan
Dua nasihat dari Firman Tuhan yang perlu kita camkan adalah komitmen dan keterbukaan.

Komitmen untuk tidak meninggalkan pernikahan dan memelihara kesatuan pernikahan.

Pasangan nikah juga harus mempraktekkan keterbukaan yang didasari atas kepercayaan penuh. Kepercayaan karena kita yakin bahwa kita berdua tidak akan meninggalkan pernikahan ini dan tidak akan melakukan hal-hal yang akan menghancurkannya pula. (NN)

Read More..

TOPENG PERNIKAHAN

Banyak pasangan muda memakai “Topeng Pernikahan”. Istilah topeng di sini tidak dengan sendirinya berkonotasi negatif. Topeng mengacu kepada upaya untuk mengesankan pasangan kita dan memenuhi kebutuhannya semaksimal mungkin.

Pada dasarnya kita tidak memberi diri kita yang sebenarnya pada awal pernikahan. Namun topeng bukanlah dikenakan dengan sengaja dan bermaksud untuk mengelabui pasangan kita.

Hubungan suami istri harus menjalani proses waktu sebelum mencapai kedalaman yang bermakna. Kedalaman relasi tidak dapat terjadi dengan seketika atau dipaksakan; ia harus meniti perjalanan hidup bersama hari lepas hari.

Untuk bisa memahami dinamika topeng pernikahan ini, kita perlu mengerti peranan kebutuhan dalam pemilihan pasangan. Ternyata kita tidak memilih pasangan hidup secara acak dan kebetulan. Kita memilihnya melalui suatu kriteria tertentu yakni faktor pemenuhan kebutuhan. Misalnya, jika kita lapar, kita akan mengambil langkah tertentu menuju ke arah mengenyangkan perut kita. Demikian pula dengan pemilihan pasangan hidup. Kita memilihnya karena menurut anggapan kita, ia akan dapat memenuhi kebutuhan tertentu yang kita miliki.

Beberapa kebutuhan mendasar yang kita miliki ialah kasih, penghargaan, keamanan, dan hidup yang bermakna. Jadi, kita memasuki hubungan pernikahan ini dengan pengharapan bahwa kebutuhan ini akan dipenuhi oleh pasangan kita.

Sebaliknya, kita pun menyadari bahwa pasangan kita juga mempunyai pengharapan tertentu kepada kita. Kita tahu bahwa ia bergantung kepada kita untuk memenuhi kebutuhannya itu. Tanpa kita sadari, kita kemudian mencoba untuk memenuhi kebutuhan pasangan kita. Misalnya, kita berupaya menciptakan rasa aman kepadanya, atau membuatnya merasa sangat dikasihi, atau memberikan penghargaan demi penghargaan atas kehadirannya di dalam hidup kita, dan menginjeksikan makna hidup ke dalam kehidupannya yang hampa.

Pada saat kita berusaha memenuhi kebutuhannya itulah, kita akhirnya tidak menjadi diri kita apa adanya. Kita harus berperan sebagai orang yang sanggup mengisi kebutuhannya dan kadang peran ini tidak seluruhnya mewakili keberadaan diri kita.

Semakin jauh jarak antara peran yang kita mainkan dan keberadaan diri yang sesungguhnya, semakin tebal topeng yang kita kenakan, dan semakin berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.

Pada umumnya topeng ini mulai retak setelah kita memasuki tahun-tahun pertama pernikahan. Kita mulai menyadari bahwa kita tidak bisa terus menerus sabar dan mengasihinya tanpa syarat, atau selalu menghadirkan jaminan keamanan di tengah ketidakmenentuan, atau memberinya penghargaan atas kekurangbisaannya.

Keretakan topeng tidak bisa dihindari. Namun sesungguhnya, keretakan topeng adalah bagian proses pertumbuhan hubungan dalam pernikahan yang sehat. Upaya untuk menghindarinya hanya akan menunda retaknya topeng yang sama itu.

Adakalanya pasangan muda tidak begitu siap menerima proses penanggalan topeng ini dan bersikap panik.

Sesungguhnya pelepasan topeng merupakan kesempatan bagi kita untuk menjejakkan kaki ke level relasi yang lebih tinggi. Pada tahap inilah rasa penerimaan akan sungguh-sungguh dapat dialami dan menjadi dasar pemenuhan kebutuhan kita dengan dia.

Kita akan melihatnya dan dilihatnya secara realistik dan ini akan melahirkan hubungan yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya.

Buanglah ketakutan dan tampilkan diri secara lebih nyata. Ingat, pernikahan yang kuat berdiri di atas kenyataan, bukan di atas harapan. (NN)

Read More..

Tidak Suka, Buang!

Sejak kecil kita terbiasa menyimpan barang yang kita sukai dan membuang yang tidak kita sukai. Pernikahan melibatkan dua individu dengan pola pikir dan gaya hidup yang berbeda.

Tidak bisa tidak, ada pola pikir suami yang kita sukai tetapi pasti ada pula gaya hidup istri yang tidak kita sukai. Masalahnya adalah, pasangan hidup kita bukanlah mainan atau pakaian yang dapat kita campakkan tatkala kita tidak menyukainya lagi. Kita tetap harus makan bersamanya, tidur bersamanya, dan hidup bersamanya walaupun ada hal-hal tentang dirinya yang tidak kita sukai.

Pernikahan memaksa kita melawan sifat kodrati kita yang cenderung membuang barang yang tidak kita sukai dan hanya menyimpan barang yang kita sukai. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi tidaklah mudah untuk kita tundukkan.

Di dalam dunia tidak ada yang kekal namun di tengah-tengah ketidakkekalan ini, ada sesuatu yang Tuhan tetapkan menjadi lambang kekekalan, yaitu: PERNIKAHAN. Itu sebabnya Tuhan berfirman, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat.19:6).

PERNIKAHAN MEMBUTUHKAN KOMITMEN
Pernikahan menuntut komitmen—kesetiaan pada janji untuk mengarungi hidup bersama. komitmen bukan saja merupakan palang yang menghalangi kita keluar dari pernikahan, tetapi juga pagar yang mencegah kita agar tidak merusak pernikahan kita.


Dalam Mat 19:5 tertulis, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”

Kesatuan suami-istri digambarkan sebagai suatu kesatuan yang permanen dan tidak dapat diuraikan kembali (irreversible), bak larutan air dan sirup yang telah menyatu.

Ingat, komitmen pernikahan bukan hanya komitmen untuk tidak bercerai, tetapi juga untuk menyatukan dan memelihara kesatuan itu.

Firman Tuhan menegaskan prinsip ini melalui pena Paulus kepada Jemaat di Efesus, “Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.” (5:28-29).

Komitmen pernikahan berlawanan dengan kodrat manusiawi kita yang telah tercemar dosa, yakni membuang yang tidak kita sukai atau yang tidak berguna bagi kita lagi. Komitmen pernikahan meminta kita untuk merawat dan mengasuh hubungan kasih ini agar terus menyatu sampai kekekalan. (NN)

Read More..

Keluarga Retak Menciptakan Pribadi Retak

Saya memasukkan usia pernikahan di bawah 10 tahun sebagai usia pernikahan yang “muda” dan saya mengamati, kelompok inilah yang rawan terhadap perceraian.

Jika ada yang bertanya, apa yang merupakan bahaya terbesar dalam 10 tahun mendatang, saya akan menjawab tanpa ragu, “disintegrasi keluarga!”

Pecahnya unit terkecil dari masyarakat ini bukan saja akan membawa dampak jangka panjang pada kehidupan emosional anak, tetapi akan pula melahirkan pelbagai problem perilaku dan social, yakni kenakalan remaja, pemakaian obat terlarang, seks bebas, dan menurunnya motivasi belajar.

Hampir semua problem perilaku dapat dihubungkan dengan faktor mengendornya keutuhan keluarga dan mengurangnya pengawasan orangtua kepada anak. Selain dari ketiga problem di atas, saya juga memproyeksikan bahwa masalah-masalah seperti homo-seksualitas dan kehamilan/aborsi di kalangan remaja akan menanjak secara substansial.

Agar anak dapat bertumbuh sehat lahir batin, ia bukan saja membutuhkan makanan bergizi, ia pun memerlukan nutrisi emosional yang hanya mungkin didapatnya secara lengkap dari ikatan keluarga yang utuh dan harmonis. (NN)



Read More..

Sunday, September 13, 2009

Luka Yang Tersembunyi...

Hari ini seperti biasa, setiap Minggu pagi saya menghadiri kebaktian bersama keluarga dengan bergairah. Pesan spesial saya dapatkan dari gembala, yaitu tentang tingginya angka perceraian dalam sebuah keluarga.

Firman Tuhan diambil dari Ef 5:22-24. Disitu ditekankan betapa pentingnya peran seorang SUAMI dalam keluarga supaya keluarganya selamat dan bahagia. Suami harus bertindak sebagai Nabi (punya visi), Imam (perantara) dan Raja (kuasa), sebagai aplikasi praktis dimana seorang suami harus bertindak sama seperti Tuhan Yesus memperlakukan jemaat.

Sebagai Nabi: suami harus selalu mencari visi dari Tuhan bagi istri dan anak-anaknya.
Sebagai Imam: suami harus bisa membawa semua anggota keluarganya mendekat kepada Tuhan.
Sebagai Raja: suami harus mengambil otoritas/kuasa pengambil keputusan dalam setiap permasalahan keluarga.

Kisah di Alkitab yang diambil sebagai contoh adalah keluarga Yehuda (cicit Abraham) yang mempunyai 3 anak laki-laki. Anak tertua menikahi seorang perempuan yang takut akan Tuhan bernama Tamar. Dalam Kej 38 (bisa dibaca sendiri semua ayatnya) tertulis bahwa anak sulung ini jahat dimata Tuhan, sehingga Tuhan membunuhnya. Nah, dalam adat istiadat Yahudi, jika laki-laki meninggal tanpa memiliki keturunan, maka adiknya wajib menikahi istrinya demi memberikan keturunan atas nama si kakak.
Singkat cerita anak kedua Yehuda pun berlaku keji dihadapan Tuhan sehingga Tuhan membunuhnya, sehingga Yehuda berjanji memberikan Tamar anaknya yang ketiga yang masih kecil.

Tetapi ternyata janji Yehuda tidak ditepati. Ini menimbulkan sakit hati Tamar, sang menantu, yang mendasarinya berbuat nekat.

Dari kisah ini, kita menemukan bahwa seorang perempuan yang sudah disakiti/terluka hatinya bisa mengalami perubahan sikap. Inilah poin penting yang ingin saya bahas. Betapa sakit hati secara sadar atau tidak bisa timbul dalam hati seorang istri/suami.

Mungkin kita berpikir bahwa sakit hati ini hanya ditimbulkan oleh perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga atau masalah-masalah ekonomi, dsb. Padahal tidak selalu begitu. Karena toh sering kita melihat kenyataan tentang keluarga Kristen yang terlihat baik-baik saja, tapi ternyata bisa bercerai dan hancur. Mengapa?

Ternyata, sesuai Ef 5, pokok permasalahannya adalah jika seorang suami/istri tidak berlaku/berfungsi seperti yang Tuhan mau dalam sebuah keluarga, hal inilah yang akan menimbulkan kekecewaan dalam diri masing-masing pasangan. Dan apabila hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik diantara mereka maka muncullah sakit hati.

Pada 1 tahun pertama pernikahan kami, saya mengalami hal ini. Kami sering bertengkar/adu mulut. Saya pun berpikir dan merenung, kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal suami saya baik-baik saja. Ia mengasihi keluarganya. Saya pun menjalankan fungsi istri sekaligus ibu dalam keluarga kami. Kami juga melayani bersama-sama di gereja setempat. Apanya yang salah??

Ternyata jawabannya adalah karena kami tidak mengambil peran yang telah ditentukan Tuhan dalam keluarga.

Suami menyerahkan semua masalah dan cenderung “lambat” dalam mengambil keputusan. Sedangkan saya sebagai istri yang dianugrahi Tuhan talenta untuk memimpin selalu tidak sabar menunggu keputusan suami. Akhirnya talenta leadership suami selalu mendapat tekanan hingga “sirna ditelan bumi”. Dan ini menimbulkan luka/kekecewaan dalam diri kami masing-masing. Tetapi puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang sungguh mengadakan pemulihan dan selalu menunjukkan jalan-jalan kebenaran kepada umatNya.

Saat ini, hari demi hari kami saling belajar dan mengerti bagaimana membina keluarga yang bahagia, selamat sampai sorga. Tuhan Yesus memberkati! (Cil)

Read More..

"Mama Ngomelin Papa"

Saya paling sebel tiap kali denger Mama komplen tentang Papa. "Jorok banget sih!", "Mbok kalo taro handuk pada tempatnya!", "Males banget sih!", "Liat tuh Papamu!", dan lain-lain keluhan yang walaupun semua adalah kenyataan bahwa Papa saya memang seperti yang dikeluhkan. Tapi kok saya bukannya sebel sama Papa ya? Tapi justru sebel sama Mama (kalau gak boleh dibilang muak dan bosan!)! Saya lebih nggak bisa menghargai Mama dibanding Papa... Pengen rasanya saya berteriak, "Brentiiii!!! Brenti ngomongin kejelekan Papa di depankuuu!!! Aku muak!!" di depan Mama. Tapi nggak mungkin kan... Saya nggak tahu lagi mesti bagaimana... (NN)

Di atas adalah curhatan dari seorang anak yang mengaku muak dan bosan sama Mamanya. Dia sulit menghargai sang Mama, karena kebiasaan Mamanya tadi.

Bagi Anda pasangan suami-istri, terutama para istri, percayalah bahwa ketika istri mulai memperkatakan keburukan suaminya, di depan anak-anak, sesungguhnya dirinyalah yang dirugikan lebih banyak. Di samping itu, anak-anak juga tidak akan menghormati ayahnya, ditambah bonus: tidak menghargai ibunya.

Jika ini yang dilakukan oleh para istri. Kami ingin katakan, "Berhentilah melakukan hal ini." Boleh-boleh saja para istri mengeluh tentang sifat buruk suaminya, tapi ingat, jangan lakukan itu di depan anak-anak! Akan lebih baik lagi bila para istri memilih untuk menerima suaminya utuh, apa adanya, dan tidak "bersuara" atas kebiasaan/tabiat buruk suaminya. Kecuali "bersuara" di hadapan TUHAN atau berdoa. Ya, hanya doa dan doa yang bisa dilakukan oleh para istri yang menghadapi suami bertabiat buruk. Sebab hanya TUHAN yang sanggup mengubahkan manusia dari yang bertabiat paling buruk sekalipun menjadi baik melalui proses demi proses secara pribadi (suami dengan TUHAN).

Pesan kami, jangan pernah mengucapkan keburukan suami di depan anak-anak, terlebih lagi di depan pembantu, atau siapapun juga, kecuali dalam konteks "mencari pertolongan" atau sedang dalam konseling dengan konselor pernikahan/keluarga yang sangat bisa dipercaya. Ingat, Firman Tuhan mengatakan bahwa: istri harus tunduk kepada suami. Taati Firman Tuhan ini, dan lihat pembelaan TUHAN kepada para istri dengan caraNYA yang ajaib!

Selamat menaati Firman TUHAN! (R)

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan (Efesus 5:22)
Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. (Kolose 3:18)
Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya (1 Petrus 3:1)



Read More..