Tuesday, September 15, 2009

TOPENG PERNIKAHAN

Banyak pasangan muda memakai “Topeng Pernikahan”. Istilah topeng di sini tidak dengan sendirinya berkonotasi negatif. Topeng mengacu kepada upaya untuk mengesankan pasangan kita dan memenuhi kebutuhannya semaksimal mungkin.

Pada dasarnya kita tidak memberi diri kita yang sebenarnya pada awal pernikahan. Namun topeng bukanlah dikenakan dengan sengaja dan bermaksud untuk mengelabui pasangan kita.

Hubungan suami istri harus menjalani proses waktu sebelum mencapai kedalaman yang bermakna. Kedalaman relasi tidak dapat terjadi dengan seketika atau dipaksakan; ia harus meniti perjalanan hidup bersama hari lepas hari.

Untuk bisa memahami dinamika topeng pernikahan ini, kita perlu mengerti peranan kebutuhan dalam pemilihan pasangan. Ternyata kita tidak memilih pasangan hidup secara acak dan kebetulan. Kita memilihnya melalui suatu kriteria tertentu yakni faktor pemenuhan kebutuhan. Misalnya, jika kita lapar, kita akan mengambil langkah tertentu menuju ke arah mengenyangkan perut kita. Demikian pula dengan pemilihan pasangan hidup. Kita memilihnya karena menurut anggapan kita, ia akan dapat memenuhi kebutuhan tertentu yang kita miliki.

Beberapa kebutuhan mendasar yang kita miliki ialah kasih, penghargaan, keamanan, dan hidup yang bermakna. Jadi, kita memasuki hubungan pernikahan ini dengan pengharapan bahwa kebutuhan ini akan dipenuhi oleh pasangan kita.

Sebaliknya, kita pun menyadari bahwa pasangan kita juga mempunyai pengharapan tertentu kepada kita. Kita tahu bahwa ia bergantung kepada kita untuk memenuhi kebutuhannya itu. Tanpa kita sadari, kita kemudian mencoba untuk memenuhi kebutuhan pasangan kita. Misalnya, kita berupaya menciptakan rasa aman kepadanya, atau membuatnya merasa sangat dikasihi, atau memberikan penghargaan demi penghargaan atas kehadirannya di dalam hidup kita, dan menginjeksikan makna hidup ke dalam kehidupannya yang hampa.

Pada saat kita berusaha memenuhi kebutuhannya itulah, kita akhirnya tidak menjadi diri kita apa adanya. Kita harus berperan sebagai orang yang sanggup mengisi kebutuhannya dan kadang peran ini tidak seluruhnya mewakili keberadaan diri kita.

Semakin jauh jarak antara peran yang kita mainkan dan keberadaan diri yang sesungguhnya, semakin tebal topeng yang kita kenakan, dan semakin berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.

Pada umumnya topeng ini mulai retak setelah kita memasuki tahun-tahun pertama pernikahan. Kita mulai menyadari bahwa kita tidak bisa terus menerus sabar dan mengasihinya tanpa syarat, atau selalu menghadirkan jaminan keamanan di tengah ketidakmenentuan, atau memberinya penghargaan atas kekurangbisaannya.

Keretakan topeng tidak bisa dihindari. Namun sesungguhnya, keretakan topeng adalah bagian proses pertumbuhan hubungan dalam pernikahan yang sehat. Upaya untuk menghindarinya hanya akan menunda retaknya topeng yang sama itu.

Adakalanya pasangan muda tidak begitu siap menerima proses penanggalan topeng ini dan bersikap panik.

Sesungguhnya pelepasan topeng merupakan kesempatan bagi kita untuk menjejakkan kaki ke level relasi yang lebih tinggi. Pada tahap inilah rasa penerimaan akan sungguh-sungguh dapat dialami dan menjadi dasar pemenuhan kebutuhan kita dengan dia.

Kita akan melihatnya dan dilihatnya secara realistik dan ini akan melahirkan hubungan yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya.

Buanglah ketakutan dan tampilkan diri secara lebih nyata. Ingat, pernikahan yang kuat berdiri di atas kenyataan, bukan di atas harapan. (NN)

No comments: