Sunday, September 13, 2009

Luka Yang Tersembunyi...

Hari ini seperti biasa, setiap Minggu pagi saya menghadiri kebaktian bersama keluarga dengan bergairah. Pesan spesial saya dapatkan dari gembala, yaitu tentang tingginya angka perceraian dalam sebuah keluarga.

Firman Tuhan diambil dari Ef 5:22-24. Disitu ditekankan betapa pentingnya peran seorang SUAMI dalam keluarga supaya keluarganya selamat dan bahagia. Suami harus bertindak sebagai Nabi (punya visi), Imam (perantara) dan Raja (kuasa), sebagai aplikasi praktis dimana seorang suami harus bertindak sama seperti Tuhan Yesus memperlakukan jemaat.

Sebagai Nabi: suami harus selalu mencari visi dari Tuhan bagi istri dan anak-anaknya.
Sebagai Imam: suami harus bisa membawa semua anggota keluarganya mendekat kepada Tuhan.
Sebagai Raja: suami harus mengambil otoritas/kuasa pengambil keputusan dalam setiap permasalahan keluarga.

Kisah di Alkitab yang diambil sebagai contoh adalah keluarga Yehuda (cicit Abraham) yang mempunyai 3 anak laki-laki. Anak tertua menikahi seorang perempuan yang takut akan Tuhan bernama Tamar. Dalam Kej 38 (bisa dibaca sendiri semua ayatnya) tertulis bahwa anak sulung ini jahat dimata Tuhan, sehingga Tuhan membunuhnya. Nah, dalam adat istiadat Yahudi, jika laki-laki meninggal tanpa memiliki keturunan, maka adiknya wajib menikahi istrinya demi memberikan keturunan atas nama si kakak.
Singkat cerita anak kedua Yehuda pun berlaku keji dihadapan Tuhan sehingga Tuhan membunuhnya, sehingga Yehuda berjanji memberikan Tamar anaknya yang ketiga yang masih kecil.

Tetapi ternyata janji Yehuda tidak ditepati. Ini menimbulkan sakit hati Tamar, sang menantu, yang mendasarinya berbuat nekat.

Dari kisah ini, kita menemukan bahwa seorang perempuan yang sudah disakiti/terluka hatinya bisa mengalami perubahan sikap. Inilah poin penting yang ingin saya bahas. Betapa sakit hati secara sadar atau tidak bisa timbul dalam hati seorang istri/suami.

Mungkin kita berpikir bahwa sakit hati ini hanya ditimbulkan oleh perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga atau masalah-masalah ekonomi, dsb. Padahal tidak selalu begitu. Karena toh sering kita melihat kenyataan tentang keluarga Kristen yang terlihat baik-baik saja, tapi ternyata bisa bercerai dan hancur. Mengapa?

Ternyata, sesuai Ef 5, pokok permasalahannya adalah jika seorang suami/istri tidak berlaku/berfungsi seperti yang Tuhan mau dalam sebuah keluarga, hal inilah yang akan menimbulkan kekecewaan dalam diri masing-masing pasangan. Dan apabila hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik diantara mereka maka muncullah sakit hati.

Pada 1 tahun pertama pernikahan kami, saya mengalami hal ini. Kami sering bertengkar/adu mulut. Saya pun berpikir dan merenung, kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal suami saya baik-baik saja. Ia mengasihi keluarganya. Saya pun menjalankan fungsi istri sekaligus ibu dalam keluarga kami. Kami juga melayani bersama-sama di gereja setempat. Apanya yang salah??

Ternyata jawabannya adalah karena kami tidak mengambil peran yang telah ditentukan Tuhan dalam keluarga.

Suami menyerahkan semua masalah dan cenderung “lambat” dalam mengambil keputusan. Sedangkan saya sebagai istri yang dianugrahi Tuhan talenta untuk memimpin selalu tidak sabar menunggu keputusan suami. Akhirnya talenta leadership suami selalu mendapat tekanan hingga “sirna ditelan bumi”. Dan ini menimbulkan luka/kekecewaan dalam diri kami masing-masing. Tetapi puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang sungguh mengadakan pemulihan dan selalu menunjukkan jalan-jalan kebenaran kepada umatNya.

Saat ini, hari demi hari kami saling belajar dan mengerti bagaimana membina keluarga yang bahagia, selamat sampai sorga. Tuhan Yesus memberkati! (Cil)

No comments: